Halaman

Kamis, 06 Juni 2013

Multikulturalisme Pendidikan



BAB I
PANDAHULUAN
  A.    Latar Belakang Masalah
Dunia merupakan kampung besar (globab village) sebagaimana yang dikemukan oleh ahli komunikasi kanda, McLuhan. Diera globalisasi dewasa ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. John Naisbit meramalkan juga bahwa di dunia yang terbuka akibat gelombang globalisasi terdapat kemungkinan lahirnya seribu negara dalam abad 21. Ramalan tersebut bias saja tepat dan bias juga meleset. Namun, dalam kehidupan bangsa-bangsa dewasa ini terdapat kecenderungan kearah itu. Gelombang demokrasi bukan hanya membawa nilai-nilai positif dalam pengertian penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan eksistensi kelompok masyarakat, tetapi juga mengandung bahaya bperpecahan suatu negara.
Samuel P. Hutington dalam the Clash of Civilization meramalkan akan terjadinya benturan antar peradapan. Benturan itu disinyalir akibat beberapa factor seperti politik, social, buday, ekonomi, ras, bahkan agama.melihat phenomena tersebut, pendidikan di Indonesia haruslah peka menghadapi arus perputaran globalisasi. Pengalaman pahit selama orde baru tidak berulang lagi. Pola pemaksaan dari kehendak pemerintah untuk membentuk satu kehidupan berbangsa yang seragam melalui aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan perlu di tinjau ulang dan dipertanyakan.
Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu, pendidikan multicultural adalah jawaban atas beberapa problematika kemajemukan itu. Perlu disadari bahwa proses pendidikan adalah proses pembudayaan dan cita-cita persatuan bangsa merupakan unsure budaya nasional. Pendidikan multicultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultur, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangan atau prejudice untuk membangun suatu kehidupan masayarakat yang adil dan maju. Pendidikan multicultural juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran ataas kebangsaan seseorang terhdap bangsanya.
Di Indonesia pendidikan multicultural relative baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang heterogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 lalu hingga saat ini. Pendidikan multicultural harus dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokkrasi sebagai penyaga kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (otoda), yang apabila hal itu tidak dilakssanakan dengan hati-hati, justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional (disintergrasi bangsa dan separatism).
Pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memakasakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam telah memunculkan reaksi balik, yang bukannya tidak mengandung sejumlah implikasi negative bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerinthan, juga terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hamper tumpang tindih dengan “etnisitas”. Kecendrungan ini, jika tidak dikendalikan, akan dapt menimbulkan bukan hanya disintragrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi poltik.
Model pendidikan di Indonesia maupun dinegara-negara lain menunjukan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multicultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, hanya terbatas pada pemahaman terhadap keragaman budaya yang ada jadi masih terbatas pada demiensi kognitif saja.
Pada prinsipnya, pendidikan multicultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Pendidikan multicultural senantiasa menciptakan struktur dan proses di mana setiap kebudayaan bias melakukan ekspresi. Tentu saja untuk mendesin pendidikan multicultural secara praksis, itu tidak mudah. Tetapi, paling tidak kita mencoba melakukan ijtihad untuk mendasain sesuai dengan prinsip-prinsip pendididkan multikulturalisme. Setidaknya ada dua hal bila kita akan mewujudkan pendidikan multicultural yang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Pertama yaitu dialog, pendididkan multicultural tidak mungkin berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multicultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada dala posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan lain akan melahirkan fasisme, nativisme, dan chauvibisme. Dengan dialog, diharapakan terjadi sumabng pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaapan yang bersangkutan.  Kedua toleransi, sikap menerima bahwa orang lain berbeda dengan kuta. Dialog dan toleransi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila dialog itu dibentuknya, toleransi itu isinya. Toleransi diperlukan tidka hanya pada tataran konseptual, melaikan juga pada tingakat teknis operasional. Inilah yang sejak lama absen dalam sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita selama ini terlalu menitikberatkan pada pengkayaan pengetahuan dan keterampilan tetapi mengabaikan penghargaan atas nilai-nilai budaya dan tradisi. Maka dengan kehadiran wacana baru tentang pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi terwujudnya kesejahteraan budaya merupakan suatu keniscayaan bagi dunia pendidikan nasional kita saat ini.

  B.     Manfaat dan Tujuan
1.      Manfaat 
Untuk menambah pengentahuan tentang Multikulturalisme Pendidikan
2.      Tujuan
Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Landasan Kependidikan
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Se­cara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata mul­ti (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Se­cara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik:
Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus diper­samakan atau, setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan, antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli lairtnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Parsudi Suparlan melihat bahwa dalam perspektif ter­sebut, kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi kehidup­an manusia. Yang juga harus diperhatikan bersama me­nyangkut kesarnaan pendapat dan pemahaman adalah ba­gaimana kebudayaan itu bekerja melalui pranata-pranata sosial. Sebagai sebuah ide atau ideologi, multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada dalam ber­bagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lairmya di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Nalar kolektif masyarakat tentang multikulturalitas ke­bangsaan masih terkooptasi oleh logosentrisme tafsir hege­monik yang syarat akan prasangka, kecurigaan, bisa ke­bencian, dan reduksi terhadap kelompok yang berada di luar dirinya (the other). Akibatnya, ikatan-ikatan sosial (so­cietal bond) melalui kolektivitas dan kerjasama hanya berlaku di dalam kelompoknya sendiri (in group), tidak berlaku bagi kelompok lairt (other group).

Kondisi multikulturalitas kebangsaan bisa diibaratkan sebagai pedang bermata ganda: di satu sisi, ia merupakan modalitas yang bisa menghasilkan energi positif; tetapi, di sisi lain, manakala keanekaragaman tersebut tidak bisa di kelola dengan baik, ia bisa menjadi ledakan destruktif yang bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan (disintegrasi bangsa). rah peradaban bangsa-bangsa be­sar, Amerika dan Kanada misaln.ya, adalah sejarah keber­hasilan mengelola dan me-numage multikulturalitas kebang­saannya . Konsep melting pot societys yang di dalamnya mengandaikan terjadinya peleburan berbagai elemen sosial budaya ke dalam sebuah 'campurart homogen' (homogen amalgama), menjadi pijakan konseptual praktis dalam mem­bangun masyarakat multikultural itu.

B.     Akar sejarah multikulturalisme
Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya di ka­langan masyarakat kita semakin merebak seiring dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Barat —khususnya Amerika— sebagai akibat proses globalisasi yang terus tidak terbendung. Berbagai ekspresi sosial buda­ya yang sebenarnya "alien" (asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan "gaya hidup" baru yang tidak selalu sesuai dengan dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-Roubaie 2002).
Secara restrospektif, politik mono-kulturalisme atau monokulturalitas yang dilaksanakan pemerintah Orde Ba­ru atas nama stabilitas untuk developmentalism telah meng­hancurkan local cultural gentuses, seperti tradisi "pela gan­dong" di Ambon, "republik nagari" di Sumatera Barat dart lain-lain. Padahal, sistem atau tradisi sosio-kultural lokal seperti ini merupakan kekayaan kultural yang tidak ternilai harganya bukan hanya bagi masyarakatnya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat-masyarakat lain.
Lebih jauh lagi, local gentuses juga berfungsi sebagai de­fense mechanism dan sekaligus early warning system yang dapat mengantisipasi ancaman terhadap keutuhan tradisi dan sistem sosio-kultural dan, dengan demikian, meme­lihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Politik mono-kulturalisme yang telah meng­hancurkan local genius ini pada gilirannya mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal.
Ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sedang muncul yaitu :
1.      pandangan kaum primordialis. Kelompok ini menganggap bahwa perbedaan genetika, seperti suku dan ras (juga aga­ma), merupakan sumber utama lahirnya benturan kepen­tingan etnis dan agama.
2.      pandangan kaum instrumentalis. Menurut me­reka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap seba­gai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk me­ngejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil.
3.      pandangan kaum konstruktivis, beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis.
Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh bebera­pa orang ahli, terdapat pengertian yang cukup mendunia, yaitu pengertian multikulturalisme sebagai pandangan du­nia yang kemudian diwujudkan dalam Politic of Recognition. Hal seperti itu juga disampaikan oleh Parekh dalam buku­nya National Culture and Multiculturalism, yang secara jelas membedakan lima macam multikulturalisme. Tentu saja, pembagian kelima bentuk multikulturalisme itu tidak kedap air (watertinght), sebaliknya bisa tumpang tindih dalam segi­segi tertentu. Kelima macam multikulturalisme tersebut adalah:
1.      multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam inter­, ksi yartg hanya minimal satu sama lain.
2.      multi­kulturalisme akomodatif, yakni masyarakat plural yang me­m kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan okomodasi-akomodasi bagi kebutuhan kultural kaum
3.      multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan mengangankan kehidupan otonom dalam ke­rangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Kepe­dulian pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini ada­lah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang me­miliki hak yang sama dengan kelompok yang dominan. Me­reka menentang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar.
4.      multikulturalisme kritikal atau interaktif, yak­ni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencer­minkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5.      multikulturalisme kosmopolitan, yakni paham yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu. Sebaliknya, mereka secara bebas terlibat dalam eksperimen­eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

C.    Multikulturalisme dan Persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh para pendiri bangsa ini untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing.  Karena itulah, perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang berkompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini, Hal ini dimaksudkan untuk membumikan wacana multikulturalisme yang masih menggantung tinggi di 'langit'.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan. Multikulturalis­me dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. Multikultural­isme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri, terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Tetapi, multikulturalisme ma­sih tetap membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang mendukungnya.
 
D.    Masyarakat Indonesia Yang multikultur
Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya ter­sebut berada dalam kesetaraan derajat, demokratis dan to­lv ransi sejati. Dengan sendi rinya, masyarakat majemuk (plural society) belum tentu dapat dinyatakan sebagai ma­yarakat multikultural (inulticultural society), karena bisa saja di dalamnya terdapat hubungan antarkekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi.
Dalam konteks ini, kita harus bersedia menerima ke­lompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempe­d ulikan perbedaan suku bangsa, agama, budaya, gender, Ita hasa, kebiasaan, ataupun kedaerahan. Multikultural memberi penegasan, bahwa segala perbedaan itu sama di I lam ruang publik. Dalam ruang publik, siapa pun boleh I n bebas mengambil peran, di sini tidak ada perbedaan gender dan kelas; yang ada adalah profesionalitas. Maka, ttiapa yang profesional, dialah yang akan mendapatkan  terbaik. Dengan kata lain, adanya komunitas yang ber­ada saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Adanya ke­setaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghor­mati, itu diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan hanya mung­kin terwujud dalam praktik nyata apabila ada pranata so­sial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol secara ketat dan adil yang mendukung dan men­dorong terwujudnya prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata.

E.     Pengertian pendidikan multicultural
Meminjam pendapat Andersen dan Cusher (1994: 320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan mul­tikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Arti­nya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi per­bedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.

James Banks (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling ber­kaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content Inte­gration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan ke­lompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, gene­ralisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu me­nyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (Social). Keempat, prejudice recluction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya men­ciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat pe­serta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu:
1.        Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksud­nya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan ke­mampuan, kemauan dan sebagainya.
2.        Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah de­wasa.
3.        Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda­beda.
4.        Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual

   Dalam konteks teoretis, belajar dari  model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan yaitu  :
1.        Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaanatau multikulturalisme
2.        Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan
3.        Pendidikan bagi pluralise kebudayaan
4.        Pendidikan dwi budaya
5.        Pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.

F.   Paradigma Pendidikan multicultural
Kemajemukan bangsa Indo­nesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu: horizontal dan vertika1.7 Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, ba­hasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, eko­nomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya
Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif. Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, konflik­konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahir­kan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakhar­monisan sosial (social disharmony). Pakar pendidikan, Syafri Sairin (1992), memetakan akar-akar konflik dalam masyara­kat majemuk, yakni: (1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic re­sources and to means of production); (2) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansion); dan (3) benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama (conflict of political, ideology, and religious Interest).
Pendidikan multikultural di sirti juga dimaksudkan bah­wa manusia dipandang sebagai makhluk makro dan se­kaligusmakhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaarmya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang­ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang menan­dai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
1.        Tujuannya membentuk "manusia budaya" dan mencip­takan "masyarakat berbudaya (berperadaban)"
2.        Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kul­tural)
3.        Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelom­pok etnis (multikulturalis).
4.        Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap ting­kah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya
Dalam melaksanakan pendidikan multicultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirina sendiri. Solidaritas menuntutagar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multicultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multicultural  yaitu :
1.        Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan , atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal
2.        Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok enik
3.        Karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung skolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multicultural
4.        Pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan
5.        Kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun nonformal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan
Oleh karena itu, dalam pendekatan pendidikan multi­kultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang di­maksud adalah sebagai berikut:
1.        Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2.        Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu un­tuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan ma­sing-masing.
3.        Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan pe­nataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4.        Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pemben­tukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5.        Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap ting­kah lakunya.

G.    Pendidikan Berbasis Multikultural
Sejak kemunculannya sebagai sebuah disiplin ilmu pa­da dekade 1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multi­kulturalisme atau Multicultural Based Education, selanjutny di singkat (MBE), telah didefinisikan dalam banyak cara dan dari berbagai perspektif. Dalam terminologi pendidikan dikenal dengan peristilahan yang hampir sama dengan MBE, yakni pendidikan multikultural (multicultural education) seperti yang dipakai dalam konteks kehidupan multikultural negara-negara Barat. Sejumlah definisi ter­ikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antro­pologi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya..
Berkaitan dengan anak didik, MBE menyoal tentang etnisitas, gender, kelas, bahasa, agama, dan ­perkecualian yang memengaruhi, membentuk, dan mem­pola tiap-tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE ada­lah hasil perkembangan seutuhnya dari konstelasi/interaksi unik masing-masing individu yang memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi kewarganegaraan (citizenship) dalam komunitas bu­daya dan bahasa yang majemuk dan saling terkait.
MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas budaya, sosiJ dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sistematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di da­lam sekolah dan luar ruangan. Ia menyangkut seluruh aset pendidikan yang termanifestasikan melalui konteks, pro­ses, dan muatan (content). MBE menegaskan dan memper­luas kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan seputar penciptaan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan lingkung­an pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita‑cita persamaan, kesetaraan dan keunggulan.

H.    Wacana pendidikan multicultural di Indonesia
Hingga saat ini, wacana pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, ter­masuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Buku ini'dimaksudkart sebagai sumbangsih pemikiran ter­hadap fertomena aktual tentang wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni pendidikan multikultural.
Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pertdidikan mul­tikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang hete­rogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Pendi­dikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia seja­lan dengan pengembartgan demokrasi yang dijalankan seba­gai counter terhadap kebijakan desentralisasi dari otonomi daerah (otoda). Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan sepa­ratisme).
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidik­an multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi mo­del yang ada, agar, seperti yang diajukan Gorski,16 pendi­dikan multikultural dapat mencakup tiga jenis transformasi: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan prosesbelajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multikultural dimung­kinkan akan terus berkembang seperti bola salju (snozv ball) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diper­bincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan ada­lah, wacana pendidikan multikultural akan dapat diberla­kukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multikultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.
Pendidikan multikultural dapat kita rumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman kultural, hak asasi manusia, dan pengurangan atau penghapusan berbagai jenis pra­sangka demi membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Apa kaitan pendidikan multikultural dengan pendidikan global? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali perlu kita rumuskan beberapa inti dari pen­didikan multikultural. Pendidikan multikultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang ter­hadap bangsanya (the pride in ones home nation). Dengan demikian, pendidikan global tidak mengurangi pengem­bangan kesadaran akan kebanggaan terhadap suatu bangsa. Oleh sebab itu, dalam arti sebenarnya, tidak ada pendidikan global, yang ada adalah pendidikan dalam perspektif global.
Dalam pendidikan multikultural, dapat diidentifikasi­kan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya de­ngan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat lokal sampai kepada masyarakat dunia global. James Banks me­ngemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau cultural identity, yaitu:
1.        Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotipe kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terha­dap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya irtferior.
2.        Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperang­kap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi, dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.
3.        Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini me ngembangkan sikapnya yang positif terhadap budaya nya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dahulu perlu mengetahui bebe­rapa kelemahan budaya atau bangsanya sendiri.
4.        The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang me­nyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.
5.        Multicultuml ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalarn dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.
6.        Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangart ke­terikatannya terhadap budaya bangsa dan budaya glo­bal.

I.       Urgensi Pendidikan Multikultural
Untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multicultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultur, serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya. Akan diuraikan dibawah ini :
1.        Sebagai Sarana Alternatif Pemecahan Konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultur di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi dimasyarakat, khususnya yang kerap terjadi dimasyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata lain, pendidikan multicultural dapat menjadi sarana alternative pemecahan konflik social budaya.
2.        Supaya Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pen­didikan multikultural juga signifikan dalam membina sis­wa agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki se­belumnya, tatkala ia berhadapan dengan realitas sosial-bu­daya di era globalisasi.     
Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antarbudaya menjadi 'ancaman serius bagi anak didik. Untuk mensi­kapi realitas global tersebut, siswa hertdaknya diberi penya­daran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan. Mengingat beragamnya rea­litas kebudayaan di negeri ini, dan di luar negeri, siswa pada era globalisasi ini sudah tentu perlu diberi materi ten­tang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multi­kulturalisme, agar siswa tidak tercerabut dari akar budaya­nya itu.

3.        Sebagai Landasan Pengetahuan Kurikulum Nasional
Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna mem­berikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus di- kuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting.
Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasar­kan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-lartgkah sebagai berikut:4
1.    Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku sera­gam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendi­dikan dan unit pendidikan. Untuk tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif seperti esensialisme dan pe­renialisme haruslah dapat diubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembang­kan kemampuan kemanusiaan peserta didik, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresivisme dan rekonstruksi so­sial dapat dijadikan landasan pengembangan kuriku­lum .
2.    Teori kurikulum tentang konten (curriculum content), haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, ge­neralisasi ke pengertian yang mencakup pula nilai mo­ral, prosedur, proses dan keterampilan (skills) yang ha­rus dimiliki generasi muda.
3.    Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasar­kart diri pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, yang hi­dup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan du­nia yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
4.    Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa harus­lah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat iso­morphisme yang tinggi dengan kenyataan sosial. Atti­nya, proses belajar yang mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan bersaing secara kompetitif in­dividualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan ca­ra belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian, per­bedaan antarindividu dapat dikembangkan sebagai sua­tu kekuatan kelompok, dan siswa terbiasa hidup dengan berbagai budaya, sosial, intelektualitas, ekonom dan aspirasi politik.
5.    Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, se­suai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat, tujuan dan informasi yang ingin dikum­pulkan. Penggunaan alternative assesment (portofolio, catatan observ asi, wawancara) dapat pula digunakan
4.        Menuju Masyarakat  Indonesia yang multikultural
Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun kembali dari ha­sil perombakan tatanan kehidupan yang dibangun oleh re­zim Orde Baru.13 Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil yang demokratis, dan ditegakkannya hu­kum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mense­jahterakan rakyat Indonesia." Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi (perombakan tatanan kehidupan me­nuju tatanan yang lebih baik) di atas adalah terciptanya se­buah "masyarakat multikultural Indonesia".
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan da­lam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan." Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti In­donesia) dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik, di mana dalam mozaik tersebut tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut (Reed, ed. 1997).  Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak kebu­dayaan di daerah"

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendidikan multicultural adalah pendidikan untuk mengenal ragam budaya masyarakat atau siswa singga kita dapat menemukan suatu metode pengajaran untuk siswa, selain itu juga untuk mengindentifikasi karakteristik siswa yang beragam budaya yang mereka tampilkan
Dalam konteks teoreis, belajar dari  model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan yaitu  :
1.      Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme
2.      Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan
3.      Pendidikan bagi pluralise kebudayaan
4.      Pendidikan dwi budaya
5.      Pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.

B.     Saran
Diharapkan pendidikan memahami tentang perbedaan kultur dan agama karena didalam suatu daerah itu tidak hanya budaya saja berbeda kemungkinan agama juga berbeda, sehingga terjadi keselarasan hubungan antar individu yang berbeda budaya dan agama tetapi tetap menyatu.